Tiga Puluh Tahun setelah Revolusi Iran

Bulan Februari 2009 menandai terjadinya Revolusi Iran 30 tahun silam. Media massa menyorotinya sebagai sebuah "Revolusi Islamis", walau kenyataan sebenarnya apa yang kita saksikan terjadi tiga puluh tahun lalu merupakan suatu revolusi kaum buruh sejati yang dibajak oleh para Ayatullah yang reaksioner karena absennya kepemimpinan yang revolusioner. Tiga puluh tahun kemudian, kita harus memetik pelajaran dari peristiwa penuh gejolak itu dan bersiap diri menyambut gelombang pasang revolusioner yang akan kembali muncul. Artikel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 29 Juni 2009, periode dimana jutaan rakyat Iran turun ke jalan menentang pemerintahan dan gelombang pasang revolusioner yang diprediksikan oleh kamerad Fred Weston menjadi kenyataan.

Bulan ini menandai perayaan 30 tahun revolusi Iran, dan media utama di seluruh dunia menggembar-gemborkan kisah tentang peran para ulama dalam revolusi itu, terutama peran Ayatollah Khomeini. Bila kita membatasi diri kita hanya membaca berita-berita dari media utama, maka akan tampak bahwa kelas buruh Iran nyaris tak melirik dan terlibat dalam peristiwa-peristiwa bergejolak di bulan Februari 1979 tersebut.

Kebenaran sejatinya adalah Revolusi yang terjadi di Iran pada 1979 merupakan revolusi kaum buruh. Bila bukan karena adanya begitu banyak mobilisasi yang digalang kelas buruh, tentulah Sang Ayatullah dan rekan-rekannya masih tetap berada dalam pengasingan mereka di Perancis, menanti-nantikan suatu saat hari yang lebih baik akan datang. Nyatanya, pada 1 Februari 1979 Khomeini dapat pulang ke Iran, disambut hangat jutaan massa rakyat. Apa kita sungguh mempercayai bahwa satu orang ini yang memprovokasi dan memimpin revolusi? Kebenaran sesungguhnya adalah ia melangkah masuk ke dalam suatu situasi yang telah dipersiapkan cukup lama [oleh kelas buruh].

Sesungguhnya, sejak satu tahun sebelum itu kaum buruh dan para pemuda telah berani turun ke jalanan untuk menantang pasukan SAVAK, yakni polisi rahasia Shah, yang dibenci rakyat. Sebelumnya SAVAK dianggap sebagai salah satu mesin represi yang paling tangguh dan tak tertandingi di dunia. Tetapi tetap saja, sekali massa mulai bergerak, pasukan elit ini meleleh kucar kacir, banyak anggota pasukan ini bergegas membuang jauh-jauh seragam mereka sebab takut jadi sasaran balas dendam kaum buruh. Mereka punya alasan tepat untuk merasa takut sebab sebelumnya mereka tak segan melakukan tindakan-tindakan jahanam penuh kebrutalan, seperti melepaskan hujan rentetan tembakan mesin dari helikopter ke kerumunan demonstran tak bersenjata!

Mengapa media yang ada sekarang ini tak menyoroti fakta-fakta tersebut? Alasannya, pemerintah negara-negara seperti Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat (juga tak ketinggalan birokrasi Rusia) memberi dukungan pada Shah. Rezim kediktaturan Shah dianggap sebagai sekutu kuat mereka di bagian dunia yang merupakan wilayah kaya minyak bumi. Kaum imperialis memberi dukungan pada Shah selama berpuluh-puluh tahun. Mereka hanya menarik dukungan tersebut saat mereka menyadari bahwa membiarkan Shah tetap berkuasa sama artinya memprovokasi bangkitnya revolusi dari bawah yang dapat membahayakan kepentingan utama mereka..

Di bawah pemerintahan Shah, industrialisasi negeri ini telah menghasilkan jutaan kaum proletar modern, kaum proletar yang ditakdirkan untuk memegang peranan kunci dalam revolusi. Peran penting yang krusial adalah yang dimainkan oleh gerakan kaum buruh industri minyak. Hingga saat itu banyak kaum Kiri yang melecehkan kaum buruh sektor minyak sebagai kaum buruh yang “diistimewakan”. Namun pada saat yang menentukan para buruh minyak ini bergerak bersama buruh lainnya dan, mengingat pentingnya industri migas dalam perekonomian Iran, hal ini menandai tamatnya kejayaan rezim Shah.

Dalam proses bangkitnya militansi kelas buruh Iran, Soviet-soviet - dewan buruh - muncul sebagai ekspresi kekuatan sejati kaum buruh. Gerakan massa tampak begitu kokohnya. Begitu perkasa hingga angkatan bersenjata pun tergerus, banyak prajurit rendahan dan bahkan para perwira ganti memihak rakyat. Rezim Shah yang pernah begitu digjaya runtuh bagaikan istana kartu remi.

Akan tetapi, tidak satu pun partai yang memimpin revolusi Iran. Apa yang mencengangkan adalah bahwa tanpa adanya kepemimpinan tersebut, kaum buruh memperlihatkan kemampuan menakjubkan untuk mengorganisir dari bawah. Para buruh di pabrik-pabrik mengambil alih tempat kerjanya dan mendirikan dewan buruh; kaum petani juga bergerak merebut tanah; dan kaum minoritas yang telah begitu lama tertindas juga mulai mengungkapkan keinginan mereka untuk memiliki otonomi. Para mahasiswa teradikalisasi secara ekstrim dan semua jenis lingkaran diskusi sosialis dan Marxis tumbuh bagai cendawan di tempat lembab.

Semua syarat terpenuhi untuk gerakan yang cepat menuju pendirian suatu pemerintahan buruh sejati di Iran. Bila saja ini terwujud, tentunya kita akan melihat terciptanya satu Negara kaum buruh yang sehat, yang pertama setelah Revolusi Rusia 1917. Hal ini tentunya akan mengubah keseimbangan kekuatan di seluruh Timur Tengah dan sekitarnya. Perebutan kekuasaan yang sukses akan menjadi menandai permulaan runtuhnya rejim-rejim despot di Timur Tengah, sebab keadaan serupa eksis di Negara-negara sekitar Iran. Kalau saja ini terjadi, seluruh sejarah wilayah tersebut tentunya akan berbeda. Revolusi Iran akan menjadi langkah pertama dalam membangun suatu Federasi Sosialis Timur Tengah yang benar-benar sejati.

Tragisnya, meski begitu luar biasa massif energi revolusioner yang diekspresikan oleh kaum buruh, kelas buruh Iran terpaksa terbetot mundur dan tidak melancarkan suatu revolusi sosialis sampai ujung terakhirnya. Penarikan mundur ini dilakukan oleh partai yang dalam teori harusnya memimpin revolusi sosialis semacam itu, yakni Partai Tudeh (Partai Komunis). Kejadian ini bukan yang pertama, juga bukan yang terakhir kalinya dimana satu Partai Komunis dengan kepemimpinan Stalinis memainkan peran sebagai pengkhianat.

Dalam konteks perimbangan kekuasaan pada saat itu, yakni antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Iran tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat. Birokrasi Uni Soviet tidak tertarik untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang revolusioner di Iran, dan Partai tudeh tunduk patuh menjalankan kebijakan yang berdasarkan satu gagasan bahwa kondisi Iran belumlah matang bagi revolusi Sosialis. Perspektif mereka adalah "revolusi demokratik", dalam kata lain revolusi borjuis. Hal ini menjelaskan mengapa mereka mencari "kaum borjuis progresif" untuk dilimpahi dukungan dari gerakan buruh.

Faktanya, tidak ada kelas semacam itu di Iran. Di seluruh dunia, kaum borjuis telah begitu lama kehilangan konotasi progresif yang barangkali dulu pernah mereka miliki di masa lalu. Namun begitu, Partai Tudeh bersikeras memegang kebijakan ini dan hal itulah yang menjelaskan mengapa saat itu mereka mulai mencitrakan para Ayatollah sebagai sosok "progresif". Dikarenakan organisasi-organisasi kelas buruh, terutama Partai Tudeh sendiri, tidak mengorganisir oposisi arus bawah di dalam gerakan buruh, maka suara oposisi menemukan ekspresinya melalui masjid.

Para ulama Islam telah terlibat konflik dengan rezim Shah karena perampasan yang dilakukan Shah atas tanah-tanah mereka. Para ulama mulai menyuarakan oposisi di masjid-masjid dan hal ini bersambut gayung dengan oposisi massa yang sesungguhnya yang tengah membuncah di kalangan kelas buruh. Dengan menyatakan para ulama ini sebagai elemen progresif, Partai Tudeh meningkatkan citra para Ayatollah di mata massa rakyat dan memberikan mereka semacam kredensial sayap kiri.

Jadi, apa yang tadinya berupa revolusi [kelas buruh] telah dipenggal dan posisinya ditempati oleh para Ayatollah yang kontra-revolusi. Pada mulanya ulama Islam ini harus bergerak dengan sangat hati-hati sebab gerakan rakyat yang sudah dilepaskan dari bawah tidak akan dapat dipadamkan dalam sekali tepuk. Kaum buruh masih punya organisasi-organisasinya; semangat revolusioner masihlah membara.

Gerakan yang dimulai pada tahun 1977 telah menjatuhkan Shah dari singasananya pada tahun 1979, dan tetap hidup hingga 1981, saat rezim Islam yang baru telah merasa lebih kuat. Gerakan ini akhirnya dihancurkan pada tahun 1983. Di tahun yang sama, rezim melarang Partai Tudeh, meski sesungguhnya partai ini telah berkontribusi besar dalam memberikan aura progresif pada citra para Ayatollah. Lagi-lagi, tak ada suatu yang baru dalam hal ini. Berapa kali dalam sejarah telah kita saksikan kaum reformis dan Stalinis menghambat gerakan massa, hanya untuk ditindas habis-habisan kemudian oleh rezim yang telah dibantunya untuk melanggengkan kekuasaan?

Jadi, Ayatollah, yang berpura-pura "membela revolusi", melaksanakan suatu kontra revolusi yang sistematis, memusnahkan segala ekspresi murni kekuatan buruh, demokrasi kelas buruh, dan secara bertahap membangun rezimnya yang despotis, dimana kapitalisme selamat dan semua hak demokrasi sejati dipadamkan.

Kaum buruh Iran membayar amat mahal untuk kebijakan-kebijakan yang diambil oleh kepimpinanan Tudeh di masa itu. Banyak dari buruh-buruh dan para pemuda terbaik kehilangan nyawa mereka di penjara-penjara Ayatollah, mula-mula mereka disiksa, lalu dibunuh secara brutal. Sementara kelas buruh secara keseluruhan telah membayarnya dengan kehilangan organisasi-organisasi sejatinya yang telah dilambungkan oleh revolusi. Apa yang awalnya dimulai sebagai sebuah gerakan kelas buruh yang sejati, sialnya, telah dibajak oleh para mullah yang fundamentalis.


Kini, 30 tahun kemudian, sekali lagi Iran menghadapi munculnya gelombang revolusioner. Dalam kurun tiga puluh tahun ke belakang kita telah menyaksikan adanya beberapa riak aksi protes mahasiswa dan banyak pula pemogokan yang militan. Rezim Islam masih berkuasa, namun cengkramannya sudah mulai mengendur. Perekonomian Iran berhadapan dengan krisis yang serius, apalagi sekarang setelah jatuhnya harga minyak. Rezim itu kini hanya memiliki sedikit saja ruang untuk bermanuver dibandingkan di masa lalu.

Kini kaum buruh dan para mahasiswa pun terdiri dari generasi yang sama sekali baru. Kebanyakan penduduk Iran yang ada kini adalah mereka yang lahir setelah revolusi 1979. Namun, ini juga merupakan alasan mengapa berbagai pelajaran berharga dari masa lalu perlu diresapi oleh generasi yang lebih muda ini. Generasi ini telah dapat menghapus ilusi-ilusi terhadap ulama Islam yang di ada di golongan tua di masa lalu. Kaum ulama Islam ini, yang telah mencuri jubah revolusi 1979 dan telah menghianati tujuan revolusi tersebut, kini dibenci oleh massa. Cuma masalah waktu saja sebelum suatu gelombang perjuangan revolusioner yang baru menumbangkan mereka dari kekuasaan.

Dan sementara pada tahun 1979 para Ayatollah dapat menampilkan diri mereka sebagai semacam alternatif dari Shah dan kaum imperialis yang menyokongnya, kali ini mereka tak akan mampu membodohi rakyat. Fundamentalisme Islam amatlah reaksioner dan semua orang bisa melihatnya.

Kaum buruh dan pemuda yang akan termobilisasi dalam revolusi Iran selanjutnya hanya dapat bergerak menuju satu arah, yakni menuju gagasan-gagasan Marxisme sejati. Itulah mengapa hari ini kami menyegarkan ingatan para pembaca tentang dua artikel penting yang telah terbit di website kita.

Artikel pertama adalah The Iranian Revolution yang ditulis oleh Ted Grant pada February 1979, menjelaskan bagaimana rezim Shah yang dibenci rakyat sesungguhnya ditumbangkan oleh revolusi kaum buruh, namun ini kemudian dibajak oleh para mullah yang fundamentalis.

Artikel lainnya ditulis menjadi dua bagian, Revolution and Counter-revolution in Iran: A Marxist View - Part One serta Revolution and Counter-revolution in Iran: A Marxist View - Part Two. Artikel ini ditulis oleh HKS, Partai Buruh Sosialis Iran pada tahun 1983, partai yang telah secara aktif berpartisipasi dalam revolusi. Artikel ini menyajikan analisa amat bagus tentang seluruh proses [yang terjadi]. Bagian kedua dalam artikel ini mengungkapkan bangkitnya gerakan revolusioner di Iran pada tahun 1978 dan bagaimana kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner di sekitar Khomeini berhasil mencengkeram kekuasaan sepenuhnya, disebabkan terutama karena kegagalan partai-partai sayap kiri dalam mempersiapkan strategi revolusioner.

Meski adanya berbagai kesukaran tak terkira dalam sepanjang 30 tahun belakangan ini, suara sejati Marxisme belumlah terpadamkan. Kenangan pada [revolusi] 1979 tetap hidup dan terekspresikan dalam Iranian Revolutionary Marxists' Tendency (lihat The political situation in Iran and the need to form the Iranian Revolutionary Marxists' Tendency). Para kamerad ini menyandarkan diri mereka pada analisa yang garis besarnya termuat dalam artikel-artikel tersebut. Mereka telah memetik pelajaran berharga dari pengalaman kaum Marxis Iran pada 1979. Dengan mempelajari kesalahan yang terjadi di masa lampau, generasi baru kaum buruh dan pemuda di Iran dapat mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi periode yang segera datang. Sejarah tengah menyiapkan peluang baru. Jangan disia-siakan!

Diterjemahkan oleh nanaskebon dari Thirty years since the Iranian Revolution, Fred Weston 11 Februari 2009. Terjemahan diedit oleh Ted S