Kontrol Buruh dan Nasionalisasi – Bagian III

Di bagian ke tiga dari Kontrol Buruh dan Nasionalisasi, Rob Lyon memaparkan pengalaman Yugoslavia dan kegagalan dari kebijakan "sosialisme pasar" dan "manajemen-mandiri" yang mengakibatkan runtuhnya perekonomian Yugoslavia dan perpecahannya menjadi 8 negara dalam perang 10 tahun (1991-2001) yang menelan korban lebih dari 140 ribu rakyat. (Indonesia translation of Workers’ Control and Nationalization - Part Three)

Pengalaman Yugoslavia

Saya ingin menghabiskan beberapa menit untuk berbicara mengenai Yugoslavia dan mengenai masalah koperasi pekerja serta apa yang disebut dengan sosialisme-pasar. Ini adalah topik yang penting dan sangat relevan dengan persoalan kontrol buruh di Venezuela. Banyak dari ini juga terkait dengan gagasan-gagasan yang sedang didorong ke depan oleh kaum Kiri Baru di Cina saat ini.

Perusahaan-perusahaan di Yugoslavia merupakan perusahaan milik negara dan secara resmi diserahkan kepada para buruh untuk dijalankan melalui dewan-dewan buruh atau melalui komite-komite manajemen-mandiri (self-management). Satu hal yang paling penting untuk disadari dan perlu diingat saat membahas komite-komite manajemen-mandiri ini adalah bahwa mereka berfungsi di dalam pasar - mereka berkompetisi secara nasional maupun internasional. Perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik ini berpromosi, bersaing, dan melakukan apa pun untuk meningkatkan profit mereka. Pengejaran atas profit inilah yang menyebabkan para tenaga ahli dan manejer-manejer mendominasi para buruh.

Perpecahan Tito-Stalin menyulut perkembangan manajeman-mandiri ini di Yugoslavia. Hingga tahun 1948, Yugoslavia memiliki sistem yang sangat mirip dengan apa yang ada di Uni Soviet. Pada saat itu, Partai Komunis Yugoslavia adalah partai yang paling setia kepada Stalin. Tetapi Tito telah memimpin perjuangan bersenjata melawan kaum Nazi dan telah merebut kekuasaan dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan dari Tentara Merah Uni Soviet. Dia memiliki basis kekuatannya sendiri, dan ini menyebabkan sejumlah sengketa dengan Stalin dan birokrasi Soviet. Setelah perpecahan Tito-Stalin, Pemerintah Yugoslavia tiba-tiba mengumumkan bahwa Uni Soviet telah merosot ke dalam "Kapitalisme Negara".

Dalam upayanya untuk menemukan sebuah justifikasi ideologi untuk perpecahan dengan Stalin, para birokrat Yugoslavia lebih lanjut menyatakan bahwa kepemilikan negara hanyalah prasyarat untuk sosialisme. Secara umum, ini adalah benar. Mereka mengatakan bahwa untuk membangun sosialisme, relasi-relasi sosialis atas produksi perlu dikembangkan; yang tentu saja juga tepat. Akan tetapi, mereka percaya bahwa relasi-relasi sosialis atas produksi akan dikembangkan dengan manajemen-mandiri, bila tidak demikian mereka percaya bahwa sistem sosialis akan merosot ke dalam despotisme birokratik (ini merupakan sebuah skema cerdik yang digunakan oleh para birokrat Yugoslavia untuk mendapatkan dukungan dari kelas buruh dalam persengketaannya dengan Uni Soviet dan untuk mendorong proposal "reformasi"). Mereka menyerang kontrol ekonomi terpusat di USSR. Namun, bukan kontrol ekonomi terpusat yang merupakan masalah, ketiadaan kontrol buruhlah yang merupakan masalah. Reformasi pasar juga diusulkan sebagai cara untuk mendorong ekonomi yang terpuruk dan untuk mencari sumber-sumber perdagangan lainnya karena dukungan Uni Soviet telah terputus (Perdagangan dengan USSR dan negara-negara Blok Timur lainnya menyumbang 50% dari ekspor dan impor. Pada tahun 1950, ini anjlok menjadi 0%).

Pada tahun 1950, Yugoslavia memperkenalkan sebuah undang-undang baru mengenai manajemen-mandiri buruh. Mereka berpendapat bahwa desentralisasi manajemen-mandiri buruh adalah awal dari lenyapnya sebuah Negara (the withering of the state). Dalam kenyataannya, kekuasaan ada di tangan birokrasi negara. Rencana Lima Tahun pertama (1947-1952) tidak mencapai target. Kualitas produk rendah, dan dari tahun 1949 produktivitas tenaga kerja telah mengalami penyusutan. Para birokrat Yugoslavia mulai mencari sebuah "prosedur otomatis" untuk mengatur ekonomi - serupa dengan bagaimana pasar berfungsi di bawah kapitalisme. Karena ketiadaan kontrol buruh sejati sebagai perangkat untuk mengontrol kualitas produksi, kaum Stalinis terpaksa mencari "mekanisme pasar". Dari awal sudah tampak jelas bahwa langkah-langkah ini akan melepas serangkaian kontradiksi. Kaum Stalinis sedang mencoba untuk melakukan satu hal yang mustahil, yakni mencoba membuka pasar dan pada saat yang sama mencoba untuk mempertahankan kontrol pusat.

Pengelolaan perusahaan menjadi tanggung jawab dewan-dewan buruh ketimbang para menteri-menteri negara. Rencana-rencana rinci produksi dialihkan ke perencanaan dasar untuk investasi. Tingkat upah ditetapkan oleh pusat, namun dalam tiap-tiap perusahaan upah ini dilengkapi dan ditambah dengan bonus-bonus, mengikat upah yang lebih tinggi dengan pengejaran profit. Namun, ini hanya di atas kertas. Komite-komite manajemen-mandiri dikontrol oleh manejer-manejer perusahaan, yang dekat dengan para birokrat dan menteri negara. Komite-komite ini jelas-jelas di bawah kontrol Partai dan serikat buruh. Manejer-manejer sering kali ditunjuk berdasarkan loyalitas politik pada kementerian negara, dan tentu saja menerima upah yang lebih tinggi daripada para buruh yang mereka perintah.

Hal penting lainnya yang perlu diingat adalah bahwa perusahaan-perusahaan ini sekarang dikenakan pajak (ketimbang mentransfer pendapatan mereka ke negara), dan dana tersebut digunakan oleh negara untuk investasi baru dan pembangunan perusahaan-perusahaan baru. Persahaan-perusahaan baru ini dengan cepat diserahkan kepada "dewan-dewan buruh" untuk dijalankan. Keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan ini tidak didistrubusikan kembali oleh negara, tetapi disimpan oleh perusahaan tersebut.

Penting untuk disadari bahwa para buruh hanya memiliki kontrol terhadap tempat kerja mereka secara formal. Di bawah manajemen-mandiri, kaum buruh seharuskan menjalankan pabrik dan bebas untuk membuat keputusan-keputusan mengenai pemasaran dan produksi. Akan tetapi, sebenarnya negaralah yang masih mengendalikan ekonomi dan perusahaan-perusahaan di bawah manajemen-mandiri buruh. Negara memiliki wewenang untuk menunjuk direktur-direktur pabrik dan mengalokasikan dana untuk tiap-tiap perusahaan. Meskipun produksi mengalami boom, kontrol negara atas investasi menyebakan pendanaan yang terus menerus untuk perusahaan-perusahaan yang tidaklah efisien, khususnya yang secara politik didukung oleh birokrasi negara.

Sistem ini memang menikmati periode kesuksesan yang singkat, dimana Yugoslavia memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling pesat di seluruh dunia pada tahun 1950-an. Namun pada tahun 1957, Kongres Dewan-Dewan Buruh (pertemuan Dewan-Dewan Buruh yang pertama dan yang terakhir) menuntut kontol yang lebih besar. Penting untuk dipahami bahwa dewan-dewan ini merupakan badan-badan birokrasi yang berada di bawah kontrol para manejer dan tenaga-tenaga ahli di perusahaan. Mereka menginginkan regulasi negara yang lebih longgar dan pajak yang lebih rendah. Perusahaan-perusahaan ini ingin lebih banyak uang masuk ke mereka sehingga mereka dapat berinvestasi sendiri ketimbang negara yang membuat keputusan investasi.

Komite-komite manajemen-mandiri semakin sadar akan kepentingan mereka sendiri, yakni kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan para birokrat dan kementerian negara. Mereka berargumen bahwa kebijakan-kebijakan ini adalah langkah-langkah yang bergeser dari "Kapitalisme Negara" dan menuju sosialisme. Dalam kenyataannya ini adalah untuk memperkenalkan pasar dan bergerak menuju kapitalisme, atau lebih tepat lagi ini adalah persiapan transisi menuju kapitalisme. Di bawah sebuah negara pekerja yang sejati, dalam suatu kondisi terisolasi, tidaklah keliru untuk memperkenalkan reformasi pasar yang terbatas, seperti yang pernah dilakukan oleh Bolshevik dengan NEP (New Economy Policy; Kebijakan Ekonomi Baru). Reformasi-reformasi pasar digunakan untuk mengatasi penyimpangan dan ketidak-efisienan dalam perekonomian, dan untuk meningkatkan produksi (khususnya produksi pertanian). Hal ini terjadi di Yugoslavia dengan perencanaan birokratiknya, di mana ketidak-efisienan dan produktivitas yang rendah tampak jelas, terutama setelah mereka diisolasi oleh USSR. Akan tetapi, reformasi pasar di bawah Stalinisme mengembangkan logika internalnya sendiri, seperti yang kita lihat di Yugoslavia pada akhirnya dan yang kita lihat di Cina sekarang ini. Pasar tidak digunakan untuk mengembangkan sektor ekonomi negara dan perencanaan ekonomi negara, sebaliknya sektor ekonomi negara dan rencana ekonomi negara justru mendanai pasar. Ini juga menciptakan kondisi di mana para birokrat dan manejer tertarik untuk memberikan legitimasi dan formalisasi atas kontrol dan kekuasaan mereka - yakni dengan menjadi kaum borjuis.

Pertumbuhan yang tinggi pada tahun 1950-an roboh pada awal tahun 1960-an, dan sebagai akibatnya reformasi-reformasi yang diusulkan oleh dewan-dewan buruh diimplementasi. Ini merepresentasikan sebuah pergeseran yang besar ke arah pasar dan kekuatan para manejer yang semakin besar. Namun, pada tahun 1962 Rencana Ekonomi Ketiga dicampakkan hanya setelah 1 tahun karena krisis ekonomi. Produksi industri anjlok ke setengah dari tingkat produksi pada tahun 1960, impor naik terus, ekspor ambruk, dan inflasi semakin meningkat dengan sangat besar.

Respon dari birokrasi negara adalah dengan bergerak lebih jauh menuju "sosialisme pasar". Negara menginginkan perusahaan-perusahaan Yugoslavia menjadi perusahaan yang kompetitif di pasar dunia, dan monopoli negara atas perdagangan luar negeri dihapus, serta membuat mata uang dapat diperdagangkan. Para birokrat Yugoslavia berpendapat bahwa jika para buruh tidak membuat keputusan-keputusan investasi yang fundamental melalui dewan-dewan buruh, maka mereka benar-benar tidak memiliki kontrol. Itu semua bisa dirangkum dalam sebuah pepatah di Yugoslavia: "He who rules over expanded reproduction rules society" (Mereka yang menguasai produksi yang berkembang, menguasai masyarakat).

Dan di sini pertanyaannya adalah: apakah kelas buruh berkuasa ketika kelas buruh dipecah-pecah, melalui perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik individual yang mengendalikan investasi dan produksi; atau ketika kelas buruh sebagai satu kesatuan, melalui negara, mengontrol investasi dan produksi? Tentunya yang kedua adalah yang benar. Di bawah model Yugoslavia, perusahaan individual yang mengejar keuntungan adalah pihak yang berkuasa, dan bukan kelas buruh. Nasionalisasi ekonomi, kepemilikan negara atas ekonomi, dan perencanaan ekonomi secara demokratis adalah faktor-faktor yang menjamin kontrol buruh atas seluruh ekonomi dan bukan hanya satu pabrik atau industri. Ini juga menjaga karakter sosial dari ekonomi dan perkembangan relasi-relasi sosialis di dalam produksi. Sosialisme berarti sentralisasi ekonomi, kontrol atas keseluruhan ekonomi oleh kelas buruh secara demokratis, guna mengembangkan ekonomi secara keseluruhan dan menjamin kepentingan kelas buruh secara keseluruhan - bukan hanya menjamin kepentingan pribadi dari sebuah pabrik atau industri tertentu. Masalah di Yugoslavia bukanlah karena kuasa atas pabrik diserahkan ke komite-komite manajemen-mandiri; ini sebenarnya bisa menjadi sebuah langkah yang sangat progresif dan demokratis selama ekonomi tersebut disusun ke dalam sebuah rencana terpusat yang demokratis, di bawah kontrol kelas buruh, yang melibatkan sebuah negara pekerja yang sejati. Masalahnya adalah bahwa kontrol ekonomi terdesentralisasi dan kontrol ekonomi diserahkan kepada kepentingan dari tiap-tiap perusahaan. Pemburuan profit dan kepentingan pribadi dari perusahaan-perusahaan ini menyebabkan para manejer dan teknisi spesialis mengontrol komite-komite manajemen-mandiri.

Hasil dari reformasi-reformasi ini tidaklah mengejutkan. Ketidaksetaraan meningkat pada tahun 1960an di antara perusahaan-perusahaan di dalam industri yang sama, di antara industri yang berbeda-beda, di antara kota dan desa, dan di antara daerah-daerah. Pada pertengahan tahun 1960-an tingkat pendapatan di Slovenia adalah enam kali lebih besar daripada di Kosovo. Yang kaya menjadi lebih kaya, dan tidaklah mengejutkan kalau pengaruh kaum buruh jatuh dibandingkan dengan pengaruh tenaga ahli di perusahaan. Sebab jika tujuannya adalah untuk menghasilkan keuntungan, maka buruh akan cenderung makin bergantung kepada para tenaga ahli dan manejer untuk menghasilkan keuntungan. Bila saja kontrol ekonomi disentralisasi dan direncanakan secara demokratis untuk kepentingan seluruh rakyat, maka pengaruh para buruh akan meningkat dalam relasinya dengan para tenaga ahli karena keahlian dan pengetahuan dari para ahli akan digunakan untuk kepentingan ekonomi secara keseluruhan daripada untuk memenuhi kepentingan sempit mereka sendiri. Demokrasi buruh dapat menggantikan pasar sebagai sarana untuk mengatur ekonomi.

Satu langkah besar lainnya menuju kapitalisme adalah dibubarkannya program investasi negara dan bank sentral negara. Dana investasi negara dibubarkan dan dinvestasikan ke dalam bank manajemen mandiri, yang kemudian meminjamkan uang ke perusahaan-perusahaan atas dasar orientasi laba.

Semua kebijakan ini menyebabkan pemberontakan terhadap pasar pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, yang dipimpin oleh para pelajar, kaum muda dan rakyat miskin. Mereka menentang pasar, meluasnya kesenjangan sosial, dan meningkatnya kekuasaan bank-bank dan para manejer atas perusahaan-perusahaan.

Dari tahun 1974 "sosialisme pasar" telah dicampakkan karena demonstrasi-demonstrasi buruh yang sangat besar, yang memuncak di pendudukan Universitas Belgrade selama tujuh hari dengan slogan "Hancurkan Kaum Borjuasi Merah". Akhirnya perencanaan ekonomi dibawa kembali, tetapi tetapi yang dibawa kembali bukanlah model Soviet birokratik, dan juga bukan perencanaan ekonomi yang demokratis. Tiap-tiap perusahaan menegosiasi "perjanjian" investasi Lima Tahun dengan negara.

Melihat sejarah Yugoslavia, kita bisa menyaksikan bahwa selalu ada sebuah perjuangan antara sentralisasi dan de-sentralisasi, serta perjuangan antara kasta manajerial dan kasta birokrasi negara. Stalinisme secara fundamental gagal untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan regional di Yugoslavia. Ketika desentralisasi dan reformasi pasar diperkenalkan pada tahun 1950-an, ini dilihat sebagai sebuah kemenangan oleh para birokrat-birokrat nasional. Kepentingan nasional sempit mereka telah menunjukkan bahwa mereka lebih tertarik untuk mengembangkan perekonomian nasional mereka sendiri dengan mengesampingkan yang lain. Ini juga memberikan lebih banyak kekuasaan ke tangan para manejer.

Ketika negara pusat berusaha untuk memperkenalkan kembali kebijakan-kebijakan sentralisasi pada tahun 1970-an, langkah ini ditentang oleh para birokrat nasional dan manejer (khususnya mereka yang berada di Slovenia dan Kroasia). Ini adalah sebuah perjuangan antara kelompok-kelompok birokrasi yang berbeda, yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda juga. Di satu sisi kelompok-kelompok birokrasi nasional dan kasta manejer mendorong de-sentralisasi dalam rangka mendorong kepentingan dan kekuatan mereka, sedangkan negara pusat mendorong sentralisasi (pada 1970-an). Pencampakkan "sosialisme pasar" merupakan suatu upaya oleh para birokrat negara, yang menyadari bahwa reformasi pasar tengah mengancam kekuasaan mereka, dan untuk menegaskan kembali kontrol mereka atas para manejer dan kelompok-kelompok birokrasi regional. Contohnya, jika pada pertengahan tahun 1960-an upah di Slovenia adalah enam kali lebih besar daripada di Kosovo, adalah mudah untuk melihat mengapa para birokrat Slovenia, yang memiliki pandangan nasional sempit, akan memiliki minat desentralisasi - supaya mereka bisa menuai keuntungan dari kekayaan daerah mereka daripada melihatnya mengalir ke tetangga mereka.

Model manajemen-mandiri Yugoslavia memiliki masalah-masalah besar - masalah-masalah yang memainkan peran signifikan dalam perpecahan yang brutal di negeri ini (yang pada akhir tahun 80an dan tahun 90an pecah menjadi 8 negara yakni Bosnia, Serbia, Kosovo, Slovenia, Macedonia, Montenegro, Kroasia, dan Srpska. Perpecahan yang brutal ini membawa perang dari tahun 1991 hingga 2001 dan memakan korban jiwa lebih dari 140 ribu - catatan Editor). Karena tiap-tiap perusahaan berkompetisi di pasar, mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri-sendiri. Mereka hanya tertarik dengan laba maksimum, supaya sebagian dari laba tersebut (bagian yang tidak dipergunakan untuk biaya atau investasi ke depan) dapat digunakan untuk meningkatkan gaji buruh. Ini menempatkan kontrol di tangan para manejer dan tenaga ahli dan bukan di tangan komite-komite buruh. Kita akan menyaksikan masalah yang sama ketika kita membahas kontrol buruh di Venezuela. Koperasi-koperasi di Venezuela, karena masih beroperasi di bawah ekonomi kapitalis, berada di bawah tekanan untuk memaksimalkan keuntungan. Ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi di dalam perusahaan dan cenderung menempatkan kontrol di tangan para manejer daripada komite-komite buruh. Pengejaran laba membuat perusahaan-perusahaan bertarung satu sama lain dalam kompetisi, membuat buruh bertarung dengan buruh yang lain dalam kompetisi, dan juga mengarah ke perbedaan internal di tiap-tiap pabrik, dimana para manejer dan para tenaga ahli bermaksud memperketat kontrol mereka dalam rangka untuk mendapatkan kekuasaan dan akses keuntungan. Inilah mengapa industri-industri yang telah dinasionalisasi harus diintegrasikan ke dalam sebuah perencanaan ekonomi yang demokratis, dan semua industri yang telah dinasionalisasi harus berada di bawah kontrol buruh, serikat-serikat buruh, dan negara.

Untuk mengatasi kesenjangan antar perusahaan ini di Yugoslavia, perusahaan-perusahaan yang miskin berusaha untuk meningkatkan upah. Karena harus membayar gaji para buruh, mereka tidak memiliki dana untuk diinvestasikan. Ini lalu menghambat laju pertumbuhan ekonomi mereka, yang kemudian akan mengurangi pendapatan mereka. Akibatnya mereka mulai meminjam dari bank manajemen-mandiri, menjadi berhutang banyak, dan meningkatkan tingkat inflasi.

Ada juga masalah pengangguran. Secara umum, perusahaan-perusahaan manajemen mandiri tidak memecat atau memberhentikan karyawan. Namun, mereka juga tidak menciptakan banyak pekerjaan. Mengapa? Karena pendapatan para buruh terikat langsung dengan laba perusahaan, jadi semakin banyak buruh yang dipekerjakan semakin sedikit upah untuk setiap buruh. Ini berarti bahwa masyarakat miskin di pedesaan akhirnya pergi ke Eropa Barat untuk bekerja. Pada tahun 1971, tingkat pengangguran di Yugoslavia adalah sebesar 7%. Namun, 20% dari tenaga kerja bekerja di luar negeri.

Masalah utama yang lain adalah perpecahan kelas pekerja. Kepemimpinan Yugoslavia menyatakan bahwa model manajemen-mandiri mereka akan mengarah ke pengembangan relasi-relasi produksi sosialis. Namun, jika relasi-relasi produksi sosialis adalah tujuan kita, maka keputusan investasi tidak dapat diserahkan ke tangan tiap-tiap perusahaan secara terpisah, karena tiap-tiap perusahaan tersebut tidak mengetahui kebutuhan masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Lagi-lagi, kepentingan tiap-tiap perusahaanlah yang berkuasa, bukan kepentingan kelas. Kenyataannya, kepentingan buruh berada di bawah kepentingan perusahaan mereka. Mereka hanya melakukan investasi untuk menciptakan lebih banyak laba di hari depan. Karena rasio upah dan laba adalah tetap, satu-satunya cara untuk menaikkan upah adalah dengan meningkatkan laba, yang berarti meningkatkan eksploitasi terhadap kelas buruh. Seiring dengan fakta bahwa para buruh bisa melihat suatu kontradiksi antara apa yang dikatakan oleh kepemimpinan Yugoslavia mengenai manajemen mandiri buruh dan apa yang sesungguhnya terjadi, ini yang menyebabkan demoralisasi dan apati di kelas pekerja. Pada tahun 1970an, absentisme meningkat tajam.

Sistem ini, sekali lagi, mirip dengan anarki kapitalisme ketimbang keharmonian relasi produksi sosialis. Para birokrat Yugoslavia juga membongkar monopoli negara atas perdagangan luar negeri, dan sebagai akibatnya ini membuat tiap-tiap perusahaan Yugoslavia berhubungan langsung dengan pasar dunia. Ini memberi peluang bagi kapitalisme dan imperialisme untuk mengintervensi ekonomi Yugoslavia secara langsung dan tanpa kontrol atau pengawasan dari pusat.

Selama tahun 1970-an, perusahaan-perusahaan manajemen-mandiri meminjam cukup banyak dari bank-bank Barat. Tujuan awal mereka adalah bahwa mereka akan meminjam, kadang-kadang dalam jumlah besar, dan menginvestasikan uang ini ke dalam perluasan dan modernisasi perusahaan mereka dengan harapan bahwa mereka akan bisa mengekspor produk mereka ke Eropa Barat dan membayar kembali pinjaman tersebut. Namun, resesi internasional pada tahun 1979 menghancurkan harapan ini. Perusahaan-perusahaan tersebut menemui kesulitan untuk membayar kembali pinjaman mereka. Selain itu, karena tidak adanya monopoli negara atas perdagangan luar negeri, tidak ada seorangpun yang tahu jumlah total utang luar negeri. Pada akhirnya, Yugoslavia harus menanggung hutang tersebut sebagai hutang negara. Standar hidup ambruk. Antara tahun 1982 dan 1989 standar hidup rakyat turun 40%. Inflasi melambung tinggi - pada tahun 1987 tingkat inflasi mencapai 150%, tahun 1989 meningkat menjadi 1950%.

Pada tahun 1988 Yugoslavia memiliki hutang luar negeri per kapita paling tinggi di seluruh Eropa, yang jumlah totalnya mencapai lebih dari 20 milyar dolar AS. Antara tahun 1984 dan 1988, Yugoslavia membayar 14 milyar dolar AS untuk bunga utang, dan ini meruntuhkan perekonomian.

Pada tahun 1980-an IMF menetapkan syarat-sayarat yang ketat untuk memperbarui pinjaman. Tentu saja, ini berarti pemotongan "anggaran sektor sosial". IMF memaksa bank-bank manajemen-mandiri untuk menjadi bank-bank swasta, dan perusahaan-perusahaan manajemen-mandiri menjadi perusahaan dengan status kepemilikan yang jelas, yakni menjadi perusahaan-perusahaan kapitalis.

Penting untuk digarisbawahi bahwa semua ini merupakan akibat langsung dari kebijakan-kebijakan "sosialisme pasar", dan ini langsung menyebabkan perpecahan Yugoslavia yang brutal. Bahkan, bagi perusahaan-perusahaan dan bank-bank manajemen-mandiri, perubahannya menjadi perusahaan swasta dan kapitalis bukanlah suatu langkah yang besar. Para manejer dari perusahaan-perusahaan manajemen mandiri menjadi pemilik dari perusahaan tersebut, dan sekarang mereka memperoleh laba daripada menerima upah yang tinggi.

Krisis ekonomi yang memukul Yugoslavia di tahun 1980-an adalah penyebab dari krisis politik. Kelompok-kelompok birokrasi yang memerintah di berbagai daerah beralih ke nasionalisme dan kebijakan menyalahkan tetangga mereka. Berhadapan dengan kemungkinan adanya revolusi buruh yang sejati, mereka menggunakan sentimen nasionalisme dan kita semua tahu hasilnya.

Apa pelajaran dari pengalaman Yugoslavia? Yang diperlukan adalah kepemilikan negara atas industri-industri yang penting dan monopoli negara atas perdagangan luar negeri. Melenyapnya Negara tidak akan terjadi dengan menyerahkan industri-industri dan perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi ke para buruh dan para manejer dan membuat mereka jadi pemegang saham. Di Yugoslavia, dimana para manejer mengendalikan komite-komite manajemen-mandiri, ini menyebabkan perpecahan kelas buruh. Membuat kaum pekerja menjadi pemilik tiap-tiap perusahaan secara terpisah bukanlah kepemilikan sosial. Komite-komite manajemen-mandiri (yang dikontrol oleh para manejer) berfungsi seperti pemilik pribadi dan ini mengarah langsung ke restorasi penuh dari kapitalisme. Kunci ke arah transformasi sosialis dan melenyapnya Negara di dalam negara buruh yang cacat adalah dengan kontrol buruh yang sejati. Sosialisme bukan hanya mengenai menjaga kepentingan para buruh di tingkat lokal dan tiap-tiap perusahaan individu. Sosialisme adalah mengenai menjaga kepentingan kelas pekerja, ekonomi, dan masyarakat secara keseluruhan. Untuk ini, kepemilikan negara sangat diperlukan. Kepemilikan negara mempertahankan karakter sosial dari ekonomi, namun tidak menandakan kepemilikan sosial. Suatu ekonomi yang telah dinasionalisasi, yang dipusatkan ke dalam satu perencanaan yang demokratis, di mana tiap-tiap pabrik memiliki dewan direksi yang anggotanya terdiri dari 1/3 buruh lokal, 1/3 serikat pekerja, dan 1/3 wakil negara (atau beberapa variasi dari komposisi ini), mempertahankan kepentingan kelas pekerja secara keseluruhan, dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan. Hanya dengan cara ini produktivitas dapat ditingkatkan dan kekuatan-kekuatan potensial ekonomi, yang dibebaskan dari ikatan kepemilikan pribadi dan nation-state, dapat dilepaskan. Ketidaksetaraan di dalam masyarakat dapat diatasi, sehingga kepemilikan negara menjadi kepemilikan sosial yang sejati.

Pelajaran penting lainnya dari Yugoslavia adalah internasionalisme. Kehancuran Uni Soviet dan Blok Timur merupakan hasil dari pandangan nasional yang sempit dari para birokrasi yang berkuasa di masing-masing negara. Mereka hanya mengorganisasi ekonomi mereka sendiri dan berdagang di antara mereka sendiri. Dengan berbasiskan Bolshevisme dan internasionalisme sejati, kita akan mampu mengintegrasikan perekonomian-perekonomian nasional yang berbeda-beda dan membangun sebuah rencana ekonomi yang terpadu dan demokratis dengan menggunakan sumber-sumber ekonomi dan kekuatan tenaga buruh dari semua negara mulai dari Havana hingga Beijing. Ini akan melepaskan kekuatan produksi dari negara-negara tersebut, mengusung perkembangan ekonomi sosialis, dan mengarah ke perkembangan hubungan produksi sosialis dan kepemilikan alat-alat produksi secara sosial yang sejati.

Bersambung ke Bagian 4

(Diterjemahkan oleh Syaiful dan diedit oleh Ted. Sumber: Workers' Control and Nationalization - Part Three oleh Rob Lyon, 3 Februari 2006)